Politik Uang dan Politik Balas Budi
Politik Uang dan Politik Balas Budi
Politik Uang
Dalam proses demokrasi belakangan ini, khususnya dalam sebuah pemilihan, entah itu pemilihan kepala desa, pemilihan kepada daerah, maupun pemilihan legislatif dan presiden. Kita mulai mengenal tindakan-tindakan yang kurang baik dalam mengarahkan atau merayu pemilih agar menentukan pilihan kepada seseorang. Salah-satu cara yang mulai marak itu adalah Politik Uang (Money Politic).
Berdasarkan jenisnya aliran dananya menurut saya politik uang terdapat dua jenis.
1. Politik uang untuk menggaet simpati dan suara pemilih.
Politik uang memang merupakan salah-satu cara yang efektif untuk meraup massa dimasa kampanye hingga hari pemilihan. Politik uang tidak selalu identik dengan pemberian uang semata, namun juga meliputi pemberian barang dan jasa dengan tujuan yang sama.
Mereka-mereka yang melakukan praktek politik uang, akan rela menggelontorkan dana yang tidak sedikit dalam menarik simpati masyarakat. Sehingga menurut pengamat politik baik lokal maupun internasional, biaya politik di Indonesia sangat mahal apalagi jika menyangkut pemilihan kepala daerah atau kepala negara. Dan hal ini menurut beberapa pengamat sesungguhnya merupakan kemunduran dalam berdemokrasi.
Dimana seharusnya rakyat memilih berdasarkan konsep dan program yang akan dilaksanakan, namun dengan politik uang rakyat hanya memilih berdasarkan nominal yang mereka terima. Pemilih tidak lagi menelaah apa yang akan mereka kerjakan setelah menang pemilihan. Sehingga tidak sedikit kekecewaan yang diterima oleh rakyat setelah mereka yang terpilih berkuasa dan membuat kebijakan-kebijakan.
2. Politik Uang untuk Jabatan dan Tender.
Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan oleh kandidat maupun tim pemenangan untuk menggaet suara pemilih sebanyak mungkin, bersaing dengan kandidat lain agar bisa memberikan hadiah lebih besar yang lebih berkesan dihati calon pemilih.
Namun bagi segelintir masyarakat hal ini justru dimanfaatkan untuk menarik simpati kandidat yang sedang bertarung. Mereka berlomba memberikan sumbangan baik moril terutama materi kepada kandidat, apalagi jika kandidat tersebut dianggap mempunyai tingkat kemungkinan menang sangat tinggi.
Tentu saja keduanya itu tidak gratis. Baik politik uang untuk menggaet simpati dan suara pemilih. Maupun politik uang untuk jabatan dan tender. Seperti kata pepatah kuno, “Ada Ubi ada Talas, Ada Budi Ada Balas”. Disini tentu kita paham akan konsekwensinya.
Politik Balas Budi.
Seperti yang sudah disinggung diatas, bahwa politik uang memiliki konsekwensi, baik bagi yang memberi maupun bagi yang menerima. Baik itu rakyat banyak seperti yang tergambar dalam point 1 maupun segelintir masyarakat pada point 2. Dengan adanya politik uang, maka akan ada politik balas budi.
Masyarakat Indonesia pada umumnya dikenal dengan masyarakat yang berbudi perkerti yang luhur, masyarakat Indonesia sangat menghargai budi seseorang dan merupakan suatu pantangan untuk berhutang budi tanpa membayarnya.
Dengan berkepribadian yang sedemikian rupa, sehingga dimanfaatkan oleh elit politik untuk memperoleh suara dalam sebuah pemilihan. Sehingga dengan memberikan amplob, buah tangan atau cinderamata yang nilainya tidak seberapa bisa memperoleh keuntungan yang maksimal.
Politik balas budi ini sangat berpengaruh kepada kebijakan politik bagi pelakunya. Baik yang memberi maupun yang menerima. Bagi masyarakat banyak yang sudah menerima buah tangan terlebih dahulu, setelah memberikan suara pengganti buah tangan tersebut, tidak ada lagi harapan yang bisa mereka tuntut kepada mereka yang menerima mandate, karena pada dasarnya suara yang mereka berikan sudah terlebih dahulu dihargai.
Namun tidak bagi mereka yang justru kebalikan dari masyarakat banyak. Bagi mereka yang terlebih dahulu menyumbang untuk biaya kampanye, setelah kandidat mereka menang, maka harus ada sebuah hak yang akan mereka peroleh untuk balas budi yang sudah diberikan.
Tidak sedikit kita melihat jika akhirnya kebijakan politik lebih mendahulukan kepentingan segelintir rakyat, dari pada masyarakat luas. Tentu hal ini harus segera dirubah, agar kebijakan politik lebih berpihak kepada masyarakat banyak.
Kesemua rantai tersebut merupakan dosa yang besar didalam Islam, karena bagi mereka yang disogok ataupun yang menyogok tempatnya di neraka. Sehingga Rasulullah sendiri melaknat mereka dalam haditsnya yang artinya :
“Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap”. (HR. Abu Daud no. 3580, Tirmidzi no. 1337, Ibnu Majah no. 2313.
Tentu dalam hal ini masyarakat bawahlah yang menjadi kunci utamanya, apakah masih mau di iming-imingi dengan sedikit buah tangan atau bisa memberikan mandat penuh dengan melihat kepada potensi penerima mandat itu sendiri. Hanya masing-masing kita yang bisa menjawabnya.
***